Rancangan
Undang-Undang Pemilihan Umum (RUU Pemilu) dan Pemilihan Presiden (RUU
Pilpres) masih terus dibahas Panitia Khusus Dewan Perwakilan Rakyat.
Masukan-masukan terus di disuarakan oleh pengamat. Direktur Eksekutif
Indo Barometer Muhammad Qodari mengatakan black campaign (kampanye hitam) memang harus dihindari, tetapi negative campaign (kampanye negatif) justru perlu dipelihara. Negative campaign itu sangat penting, ujarnya di Jakarta, hari ini (12/9).
Qodari
menjelaskan perbedaan mendasar antara kampanye hitam dengan kampanye
negatif. Kampanye negatif sesuai fakta, sedangkan kampanye hitam tidak
sesuai fakta, ungkapnya. Menurutnya, seorang kandidat bisa saja menuduh
lawan politiknya melakukan korupsi, asalkan tuduhan tersebut bersifat
faktual. Ia mencontohkan salah satu kampanye negatif yang pernah
dilakukan adalah kampanye untuk tidak memilih politisi busuk pada Pemilu
2004 lalu.
Menurut
Qodari, kampanye negatif merupakan suatu keniscayaan dalam berpolitik.
Pada dasarnya, lanjut Qodari, dalam kampanye setiap kandidat berusaha
melakukan dua hal: Menunjukkan hal-hal yang baik terkait dirinya dan
melakukan hal-hal lain yang terkait dengan saingan atau lawan
politiknya, ujarnya.
Namun
sayangnya, Qodari belum melihat adanya pembedaan yang tegas antara
kampanye hitam dan negatif baik dalam RUU Pemilu maupun RUU Pilpres. Ia
justru melihat dalam RUU Pemilu ada pasal yang maksudnya untuk
menghalangi kampanye hitam, tapi bisa juga mematikan kampanye negatif.
Pasal 103 ayat (2) RUU Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD
Pemberitaan kampanye dilaksanakan berdasarkan prinsip:
a. adil dan berimbang;
b. faktual;
c. tidak mengandung unsur SARA; dan
d. tidak provokatif
|
Qodari
mempertanyakan maksud provokatif dalam huruf d pasal tersebut. Dimana
batasan provokatif? tanyanya. Karena, menurutnya tindakan kampanye
negatif juga bisa dikatakan sebagai tindakan provokatif. Oleh sebab itu,
ia mendesak Panitia Khusus RUU Pemilu DPR untuk merumuskan pembedaan
kampanye hitam dan negatif.
Sementara
itu, Wakil Ketua Pansus RUU Pemilu Yasona H Laoly setuju apabila
dipertegas perbedaan tersebut. Namun, menurutnya harus dirumuskan dulu
secara tepat definisi kampanye hitam. Jangan sampai nanti
disalahgunakan, ujarnya. Pengaturan tersebut, menurutnya sangat berguna
untuk membuat pemilu dilakukan secara fair, dewasa dan bermartabat.
Dihubungi terpisah, Direktur Eksekutif Cetro
Hadar Gumay juga setuju dengan Qodari. Menurutnya, kampanye negatif
bisa saja dilakukan dengan fakta-fakta yang dimiliki baik oleh
saingannya maupun orang ketiga. Dan fakta itu bisa
dipertanggungjawabkan, katanya.
Namun,
Hadar mengingatkan resikonya cukup besar. Potensi ricuh dalam pemilu
lebih besar. Nanti juga akan terjadi Pemilu maki-maki, jelasnya. Tetapi,
lanjutnya, semua itu bisa diminimalisir dengan pengaturan yang jelas.
Menurut
Hadar lebih baik kita menjadi orang yang jujur. Daripada nanti
belakangan baru diributkan belakangan, ujarnya. Ia juga mengakui gerakan
jangan pilih politisi busuk pada pemilu 2004 sebagai bentuk kampanye
negatif. Sayangnya, ketika itu, gabungan LSM tidak menyebutkan nama
politisinya karena alasan tidak memiliki dokumen yang lengkap.
Hadar
juga mengakui bila kampanye negatif tidak disertai bukti dan fakta maka
resiko hukum bisa ditanggung orang yang membeberkan. Bisa dituduh
pencemaran nama baik, ujarnya.
Tak perlu diatur RUU
Anggota
Dewan Pers Wina Armada Sukardi berpendapat sedikit berbeda. Meski
mengaku pengaturan kampanye hitam sangat diperlukan, namun menurutnya
tak perlu diatur dalam RUU Pemilu atau RUU Pilpres. UU Pers dan Kode
Etik Jurnalistik sudah cukup, ujarnya memberi alasan. Bila kampanye
hitam hanya diartikan melalui pers saja, tambahnya.
Menurut
Wina, ada asas-asas dalam UU Pers maupun Kode Etik Jurnalistik yang
bisa digunakan untuk menghalangi kampanye hitam. Misalnya menghormati
asas praduga tak bersalah dan menguji informasi yang didapatnya. Ada juga, lanjut Wina, yang dimaksud sebagai unsur kepatutan. Misalnya ada berita melalui SMS dari salah satu kandidat, katanya.
Bahkan,
secara garis besar, Wina tidak setuju bila RUU Pemilu atau RUU Pilpres
mengatur mekanisme kerja pres. Seharusnya fokus pada masalah Pemilu
saja, ujarnya. Malah lebih bahaya lagi, pengaturan dalam RUU tersebut
dapat menjadi kriminalisasi terhadap pers, bila melihat pada rancangan yang ada.
Laoly
memiliki pendapatnya sendiri. Menurutnya, selain bisa dilakukan oleh
pers, kampanye hitam bisa juga dilakukan selain oleh pers. Contohnya,
bisa melalui selebaran. Terkait hal ini, lanjutnya, pengaturan dalam RUU
Pemilu dan RUU Pilpres masih sangat dibutuhkan.
Kesimpulannya perbedaan antara negative campaign dan black campaign adalah pada isinya pada negative campaing isinya lebih berdasarkan pada fakta yang ada sedangkan pada black campaing isinya lebih kepada isu yang belum terbukti kebenarannya.
Refferensi:
No comments:
Post a Comment