Friday, June 27, 2014

KPK Melawan 'Kutukan' Tambang

Tak semua negara mendapat karunia berupa kekayaan tambang. Sayangnya, kebanyakan negeri yang diberkahi dengan gelimang sumber daya mineral justru bukan negara berpendapatan tinggi. Afrika Selatan, Timor Leste dan Indonesia, misalnya. Sebagai negara dengan kekayaan sumber daya mineral yang melimpah ruah justru tingkat kesejahteraan rakyatnya masih memprihatinkan.

Kenyataan ini dipotret seorang ahli ekonomi pertambangan asal Colorado School of Mines Amerika Serikat, Roderick G Eggert, dalam karyanya yang berjudul Mining and Economic Sustainability: National Economies and Local Communities. Tulisan itu mempertanyakan apakah kekayaan sumber daya alam berupa bahan tambang hadir sebagai sebuah “kutukan”. Sebab, Eggert melihat kekayaan tambang di banyak negara justru belum membawa kekayaan dan kesejahteraan bagi rakyatnya. Fakta ini juga sangat merefleksikan kondisi Indonesia.

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat, penerimaan negara bukan pajak (PNBP) pertambangan umum untuk tahun 2011 hanya Rp22,4 triliun. Dalam kurun dua tahun pun peningkatannya belum signifikan. Pada tahun 2013 negara baru mampu mengumpulkan PNBP tambang sebesar Rp26,4 triliun. Angka tersebut masih di bawah target pemerintah Rp33,1 triliun.

Menurut teori yang dikemukakan Eggert, tambang menjelma sebagai kutukan akibat kebijakan tak tepat sasaran. Faktor ini rupanya juga menyusup di lahan tambang Ibu Pertiwi. Pasalnya, menurut peneliti kebijakan perpajakan dari Perkumpulan Prakarsa, Yustinus Prastowo, penyebab penerimaan negara di sektor tambang tak optimal adalah adanya kendala peraturan.

"Aturan sudah ada, tetapi interpretasi otoritas pajak sering berbeda dengan tafsir pengusaha,” katanya.

Yustinus menjabarkan, kendala peraturan terjadi tatkala ada perubahan peraturan di sektor tambang, terutama terkait kontrak karya. Dengan alasan bahwa kontrak itu lex spesialis, investor pun berkukuh kewajiban pajak mengikuti kontrak. Akibatnya, banyak pengusaha tambang yang mangkir dalam urusan pajak.

Data Indonesian Corruption Watch menunjukan, tak lebih dari 40% perusahaan tambang yang memiliki nomor pokok wajib pajak (NPWP). Dari sekitar sepuluh ribu izin usaha pertambangan (IUP) yang diterbitkan, baru 3.600 pemegang IUP yang memiliki NPWP. Dari sejumlah pemegang NPWP pun masih banyak perusahaan yang belum tertib menyerahkan data produksi dan setoran pajak.

Padahal, jelas Peraturan Presiden No. 26 Tahun 2010 mewajibkan setiap perusahaan tambang untuk menyampaikan laporan pembayaran penerimaan negara dan volume hasil tambang. Laporan ini nantinya akan diaudit oleh auditor independen dan akan dibandingkan dengan data penerimaan negara. Sayangnya, dari 128 perusahaan tambang di Indonesia, 59 diantaranya belum menyetor data penting tersebut.

“Laporan ini penting karena bagian dari upaya Indonesia masuk kelompok negara-negara yang transparan dalam industri pertambangannya,” tandas Maryati Abdullah, anggota Tim Transparansi Industri Eksktraktif.

Bukan hanya persoalan pajak yang tak disetorkan, minimnya penerimaan negara juga karena sering terjadi conflict of interest di lahan tambang. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mencium aroma konflik itu di banyak daerah. Biasanya, konflik kepentingan terjadi karena adanya indikasi penerbitan izin terkait dengan pemilihan kepala daerah.

“Dalam industri pertambangan di Indonesia saat ini, ada korelasi antara IUP, bupati, pilkada, dan partai politik. Jadi, bupati dari partai politik sebagian dijadikan ATM parpol, ini nggak sehat. Hal inilah yang saat ini coba untuk dirapihkan pemerintah bersama KPK,” ungkap Wakil Ketua KPK, Busyro Muqoddas.

Bersih-bersih korupsi
Bagai peri, KPK pun hadir mengoptimalkan penegakan hukum di lahan tambang sebagai mantra anti-kutukan tambang. KPK memulai langkahnya dengan melakukan upaya pencegahan terjadinya tindak pidana korupsi. Di dua belas provinsi, KPK melakukan kegiatan koordinasi dan supervisi atas pengelolaan pertambangan.

“Ini dimaksudkan untuk mengawal perbaikan sistem dan kebijakan pengelolaan PNBP mineral dan batubara,” ujar Juru Bicara KPK, Johan Budi SP.

Dari hasil koordinasi dan supervisi yang dilakukan, KPK memutuskan akan mencabut 35 IUP dalam waktu dekat. Sebab, penerbitan tersebut terindikasi terkait pilkada di beberapa daerah di Kalimantan.

"Motifnya political conflict of interest dari bupati. Hampir semua bupati representasi partai politik," ungkap Johan Budi.

Selain itu, KPK berhasil mendorong sinergi antara Kementerian ESDM dengan Kementerian Keuangan. Kedua kementerian itu akan menata sistem pengelolaan IUP. Seluruh IUP yang berjumlah 10.900 akan ditata secara elektronik. Dengan demikian, perusahaan pemegang IUP yang membayar PNBP, secara otomatis pembayarannya akan terekam di semua kementerian.

Lebih konkrit lagi, penerimaan negara dari lahan tambang pun bertambah. Para pemilik IUP didorong untuk ntuk membayar royalti, iuran tetap, dan lainnya. Direktur Perencanaan Program Ditjen Minerba Kementerian ESDM, Paul Lubis, menyebutkan bahwa dalam dua bulan pasca-pembenahan yang dilakukan KPK bersama kementeriannya, sudah masuk Rp8 triliun dari perusahaan tambang.

Paul mengatakan, kebanyakan yang disetorkan adalah pajak yang belum dibayarkan. Namun demikian, banyak juga penyetoran kewajiban lain terkait kepemilikan tambang seperti biaya reklamasi, royalti, dan dana pasca tambang.

"Hasil dari KPK, semua utang mereka diinventaris. Kalau mereka tidak membayar dalam waktu enam bulan akan diserahkan ke penegak hukum. Kami yakin dalam enam bulan ke depan seluruh hak pemerintah akan dapat kembali dengan utuh," jelas Paul.

Refferensi:

No comments:

Post a Comment