Perang merupakan hal yang selalu ada dalam setiap era maupun
zaman. selama ribuan tahun, telah banyak perang maupun konflik yang terjadi di
dunia, baik yang berskala lokal, nasional, maupun internasional. Begitupun metode
dalam perang juga turut mengalami perubahan dan perkembangan, bahkan nilai,
esensi, maupun tujuan dari perang banyak yang berubah. Hal ini secara tidak
langsung juga turut memberikan corak yang berbeda dalam berperang. Terdapat
titik yang mampu menjadi penanda adanya perkembangan ini, yakni sejak
dimulainya perang dingin. Di masa Perang Dingin hingga sekarang ini,
permasalahan keamanan telah banyak menagalami perubahan, salah satunya adalah
dengan dengan diperhitungkannya senjata nuklir. dengan begitu, menurut penulis,
hal ini sekaligus menandakan masa transisi perang konvensional menuju perang
nuklir dimana hal ini merubah cara berfikir dan metode analisis tentang perang.
Dengan berbagai perubahan dalam pengambilan keputusan dan faktor dalam era
nuklir saat ini, menjadi sebuah pertanyaan apakah strategi masih ada dan masih
relevan dalam nuclear age saat ini? Semakin kompleksnya
tinjauan strategis dalam perang, hal ini pada akhirnya melahirkan sebuah
inisiatif untuk menciptakan sebuah senjata yang memiliki daya massive
destruction yang tidak lain melahirkan senjata nuklir. Dalam tahap
inilah revolusi nuklir terjadi dan sejak revolusi ini pula nuklir menjadi
sebuah bagian yang secara tidak langsung meng-cover strategi
militer didalamnya.
Revolusi
nuklir menjadi fokus pembahasan di sini yang menandai adanya
perubahan-perubahan dalam strategi kemiliteran. Pembahasan mengenai
signifikansi revolusi nuklir dalam perkembangan strategi militer menjadi fokus
debat antara dua kelompok; minimalis dan maksimalis. Bagaimanapun ada beberapa
ketidaksepahaman antar keduanya, dapat diketahui bahwa terdapat revolusi dalam
strategi militer-politik, yakni adanya transformasi nature of military
force; dalam artian bahwa strategi klasik sudah mulai dipertanyakan
signifikansinya ketika dihadapkan pada apa yang menjadi karakteristik dari
strategi modern. Revolusi ini menandai kemenangan offense atas defense, serta
peralihan dari “perang untuk menang” menjadi “pencegahan perang” melalui
kebijakan deterrence (Klein, 1994: 39). Karena dalam revolusi
ini melibatkan adanya pembuatan dan pembangunan senjata pemusnah massal, maka
revolusi ini sangat identik dengan nuklir, dan menandai lahirnya apa yang
disebut dengan “strategi nuklir”.
Perkembangan
teknologi kemiliteran memiliki peran penting dalam perkembangan studi strategi.
Dalam bukunya yang berjudul “What Nuclear Revolution?”, Klein (1994) menyatakan
bahwa perkembangan teknologi “Make an awareness of the rhetorical or
representational practices by which Strategic Studies removes questions of
organized violence from social practices”. Penulis bisa katakan bahwa
kalimat Klein tersebut mengandung implikasi bahwa studi strategi paska
perkembangan teknologi, tidak melulu terkait dengan perang (violence)
yang menjadi ranah operasi militer, tetapi studi strategi sudah menjalar ke
aspek atau dimensi lain; ekonomi, politik, pengetahuan, dan sebagainya, di mana
strategist-nya merupakan pihak-pihak non-militer, seperti akademisi,
teknologist, arsitek, birokrat, dan pebisnis.
Namun, kontribusi perkembangan teknologi yang paling nyata terhadap studi
strategi adalah bahwasanya perkembangan teknologi menyebabkan adanya
perubahan-tantangan-tantangan terhadap konsep nature of war yang
diusung oleh strategi Clausewitz. Perkembangan teknologi yang paling nyata
mempengaruhi studi strategi adalah kemunculan dan perkembangan dari teknologi
nuklir pada masa Perang Dingin. Klein (1994) menyatakan bahwa “Clausewitz’s
three modification of real war no longer upheld in the nuclear world....
Warfare in the nuclear age is claimed to be instantaneous, unlimited, and
irreversible in its overwhelming consequences”. Adanya industrialisasi dan
mekanisasi perang menyebabkan konsep “all war is limited” milik
Clausewitz menjadi kurang relevant ketika industrialisasi dan mekanisasi perang
itu memiliki kecenderungan mengarah pada perang total dengan adanya
perkembangan teknologi; defense tersubordinasi terhadap offense,
besi tergantikan dengan baja, pertempuran antar prajurit tergantikan oleh
pertempuran antar mesin, keunggulan dari aerial power dari land
warfare, kemunculan dari strategic bombing, dan pergeseran
target strategi perang, dari politik, militer, dan penduduk (trinitas perang
Clausewitz) menjadi ke arah sentimen dan moral penduduk sipil milik musuh
(Klein, 1994: 57). Dari sini dapat terlihat bahwa dalam strategi modern,
perubahan teknologi mempengaruhi studi strategi ketikanature of war itu
juga berubah.
Krisis misil Kuba oleh banyak penstudi dianggap sebagai turning point akan
eksistensi dari strategi nuklir yang memang ada di masa kontemporer saat ini.
Pada tahun 1962 ketika terjadi krisis misil Kuba, pihak kapten kapal
selam Uni Soviet membatalkan untuk memasang misil di Kuba karena
mempertimbangan beberapa alasan yang sangat erat kaitannya dengan strategi
nuklir. Dalam hal ini, pihak Uni Soviet telah dianggap menerapkan strategi
nuklir karena banyak mempertimbangkan efek yang terjadi bila pemasangan
hulu ledak nuklir Kuba tetap dilaksanakan dan mereka memang bertindak secara
rasional. Penggunaan nuklir sebagai instrumen militer dianggap merupakan hal
yang irrasional dengan melihat efek yang diakibatkannya.
Seperti yang diungkapkan di atas, terdapat dua perdebatan mengenai efektivitas
penggunaan strategi nuklir dalam perang; perdebatan antara kaum minimalis
dengan dasar liberal mereka, dan kaum maksimalis dengan dasar strategi
Clausewit (Klein, 1994: 79). Menurut kaum minimalis, tidak dapat dipungkiri
bahwasanya pengembangan nuklir tidak hanya menunjukkkan kemajuan teknologi
namun juga bentuk bahaya yang baru ibarat pisau bermata dua. Dilihat dari segi
instrumen militer, nuklir merupakan senjata yang tidak dapat diperangkan
mengingat dampak yang ditimbulkannya. Selain itu, di bumi ini belum
terdefinisikan medan perang seperti apa yang sesuai bagi penggunaan perang nuklir
walaupun telah terdapat beberapa tempat yang sering digunakan untuk uji coba
nuklir seprti beberapa pulau kecil di Samudra Pasifik. Aplikasi dari strategi
nuklir ini sangat lah jelas keberadaannya terlebih bila dikaitkan dengansupreme
excellence Sun Tzu win without war.
Dari ungkapan tersebut dapat dilihat dengan jelas, dengan efek nuklir yang
begitu membahayakan, perang nuklir dianggap mustahil terjadi. Sehingga
keberadaan dan pengembangan senjata nuklir bagi negara-negara hanyalah sebagai
senjata atau strategi untuk deterrence. Seperti yang diungkapkan
Klein (1994), “... Political-military force... less to be used actively in
ongoing battle... to assure no winner, no conflict. Strategic picture...
deployment of nuclear force... to avoid their use as war-winning”.
Jelas bahwa kaum minimalis menitikberatkan pada nuklir sebagai strategi untuk
mencegah konflik dan perang total. Oleh sebab itu, kaum minimalis juga
menekankan prinsip “no first use“; senjata nuklir digunakan sebagai
alat retaliation (pembalasan dendam), bukan alat initiation (pemulaian
perang). Sehingga, kaum minimalis menekankan pada konsep “senjata nuklir
sebagai alat deterrence atau pencegah perang”, karena ada jika
kita memulai perang dahulu (initiation), maka kita akan mendapatkan serangan
balik (retaliation) dengan daya destruktif nuklir yang sama besarnya.
Senjata nuklir, oleh karena konsekuensinya, mustahil diterapkan dan menjadi
suatu bentuk kondisi perdamaian yang baru ketika negara-negara lebih memilih
berdamai karena takut akan efek yang ditimbulkan oleh perang nuklir itu
sendiri.
Sedangkan kaum maksimalis lebih berorientasi kepada konvensionalisasi nuklir.
Dalam artian, mereka menyatakan bahwa teknologi nuklir bisa menjadi instrumen
dari perang, dan bisa saja digunakan sebagai tindakan inisiatif dari musuh.
Seperti dalam tulisan Klein, “When adversary is so ideologically driven...
or ideologically overdetermined... it is problematic to place faith in the
hands of that foe that it will not attack”. Jadi jelas bahwa masih ada
kemungkinan bahwa prinsip kaum minimalis tentang “no first use” tidak
relevan. Kaum maksimalis juga mengkritik prinsip teknologi nuklir sebagai alat
“retaliation”; apa tujuan pembalasan dendam jika misalnya kita sudah terkena
serangan inisiatif musuh yang sangat berdaya destruktif dan masif hingga mampu
melumpuhkan kita. Oleh sebab itu, kaum maksimalis menitikberatkan pada
kemungkinan teknologi nuklir digunakan sebagai alat “war-winning” dan “war-fighting”
daripada sebagai alat retaliasi atau balas dendam. Deterrence yang
bertujuan untuk mempasifkan musuh, oleh sebab itu, justru akan mengarahkan
strategi itu sendiri lebih dekat kepada dampak-dampak yang ditimbulkan oleh
postur war-fighting (Klein, 1994: 66).
Dalam kaitannya dengan Clausewitz, yang menekankan pada deployed the
arms rightly menginstruksikan pentingnya penempatan senjata nuklir
untuk digunkaan sebagai alat deterr terhadap negara lain
sehingga mencapai bargaining positionyang kuat. Pengembangan nuklir
sebagai alat deterrence, oleh Herman Kahn dibagi dalam tiga
proporsi. Yakni nulir sebagai serangan secara langsung terhadap negara lawan,
sebagai alat deterrence bagi aksi provokatif dan sebagai alat deterrence bagi
aksi yang kurang provokatif. Sebagai deterr aksi yang provokatif, nuklir sangat
lah berguna. Selain itu, penggunaan nuklir sebagai payung keamanan juga dapat
digunakan ketika negara lain berlindung di bawah negara yang memiliki senjata
nuklir atas ancaman yang didapat dari negara lain.
Sehingga dapat dilihat memang pada kenyataannya strategi nuklir memang ada dan
sering digunakan di masa kontemporer seperti saat ini. Strategi nuklir adalah
pembentukan aturan dan rencana mengenai pembuatan dan penggunaan senjata
nuklir. (Encyclopaedia Britannica Online, dalam www.britannica.com, diakses
pada 30 April 2012). Karena itu, strategi nuklir dapat dikatakan masih ada.
Bukti dari pernyataan ini:
Dalam
lingkup negara, strategi nuklir masih ada di dunia, tepatnya di Amerika
Serikat. Akhir dari Perang Dunia II dan Perang Dingin tidak mengakhiri
penggunaan nuklir. Strategi nuklir Amerika Serikat ada 4, yaitu ikut serta
dalam kebijakan non-proliferasi, mengembangkan teknologi non-militer,
mengontrol militer, dan bertahan dalam menghadapi serangan terorisme (dalam
www.america.gov, diakses pada 30 April 2012).
Dalam
lingkup internasional, strategi nuklir juga ada, tapi sifatnya lebih kepada
pembatasan. Kebijakan Non-Proliferation of Nuclear Weapon Treaty (NPT)
merupakan salah satu rezim internasional mengenai keberadaan nuklir.
Walaupun demikian, pada saat ini jumlah senjata nuklir telah banyak berkurang
jika dibandingkan dengan pada masa Perang Dunia II dan Perang Dingin, mengingat
sifatnya yang destruktif dan tidak berkeprimanusiaan. Teknologi nuklir dicondongkan
kepada penemuan alternatif bahan bakar alam lain yang sudah dirasa krisis dan
manfaat yang lebih positif lainnya ketimbang sekadar senjata untuk perang.
Nuklir merupakan tenaga yang sangat kuat dan efisien, hanya dibutuhkan sedikit
nuklir untuk mengaktifkan berpuluh-puluh kali bubuk mesiu. Namun, sifatnya yang
berbahaya membuat dunia cemas mengenai penggunaan nuklir dalam hal apapun.
Contohnya teknologi nuklir Jepang yang pada gempa dahsyat yang lalu mengalami
kebocoran. Hal inilah yang menyebabkan dunia masih dalam kontroversi mengenai
pengembangan nuklir dan penggunaannya, sehingga terus ada tekanan terhadap
eksistensi nuklir hingga pada titik lenyap.
Nuklir memang sumber energi yang begitu besar manfaatnya jika itu dimnfaatkan
untuk hal-hal yang positif karena dapat menjadi energi masa depan,namun jika
nuklir dikembangkan hanya untuk kepentingan perang tentu itu kurang bijaksana.
No comments:
Post a Comment