Friday, June 14, 2013

Kontroversi Pengembangan Tenaga Nuklir

        Perang merupakan hal yang selalu ada dalam setiap era maupun zaman. selama ribuan tahun, telah banyak perang maupun konflik yang terjadi di dunia, baik yang berskala lokal, nasional, maupun internasional. Begitupun metode dalam perang juga turut mengalami perubahan dan perkembangan, bahkan nilai, esensi, maupun tujuan dari perang banyak yang berubah. Hal ini secara tidak langsung juga turut memberikan corak yang berbeda dalam berperang. Terdapat titik yang mampu menjadi penanda adanya perkembangan ini, yakni sejak dimulainya perang dingin. Di masa Perang Dingin hingga sekarang ini, permasalahan keamanan telah banyak menagalami perubahan, salah satunya adalah dengan dengan diperhitungkannya senjata nuklir. dengan begitu, menurut penulis, hal ini sekaligus menandakan masa transisi perang konvensional menuju perang nuklir dimana hal ini merubah cara berfikir dan metode analisis tentang perang.
       Dengan berbagai perubahan dalam pengambilan keputusan dan faktor dalam era nuklir saat ini, menjadi sebuah pertanyaan apakah strategi masih ada dan masih relevan dalam nuclear age saat ini? Semakin kompleksnya tinjauan strategis dalam perang, hal ini pada akhirnya melahirkan sebuah inisiatif untuk menciptakan sebuah senjata yang memiliki daya massive destruction yang tidak lain melahirkan senjata nuklir. Dalam tahap inilah revolusi nuklir terjadi dan sejak revolusi ini pula nuklir menjadi sebuah bagian yang secara tidak langsung meng-cover strategi militer didalamnya.
Revolusi nuklir menjadi fokus pembahasan di sini yang menandai adanya perubahan-perubahan dalam strategi kemiliteran. Pembahasan mengenai signifikansi revolusi nuklir dalam perkembangan strategi militer menjadi fokus debat antara dua kelompok; minimalis dan maksimalis. Bagaimanapun ada beberapa ketidaksepahaman antar keduanya, dapat diketahui bahwa terdapat revolusi dalam strategi militer-politik, yakni adanya transformasi nature of military force; dalam artian bahwa strategi klasik sudah mulai dipertanyakan signifikansinya ketika dihadapkan pada apa yang menjadi karakteristik dari strategi modern. Revolusi ini menandai kemenangan offense atas defense, serta peralihan dari “perang untuk menang” menjadi “pencegahan perang” melalui kebijakan deterrence (Klein, 1994: 39). Karena dalam revolusi ini melibatkan adanya pembuatan dan pembangunan senjata pemusnah massal, maka revolusi ini sangat identik dengan nuklir, dan menandai lahirnya apa yang disebut dengan “strategi nuklir”.
Perkembangan teknologi kemiliteran memiliki peran penting dalam perkembangan studi strategi. Dalam bukunya yang berjudul “What Nuclear Revolution?”, Klein (1994) menyatakan bahwa perkembangan teknologi “Make an awareness of the rhetorical or representational practices by which Strategic Studies removes questions of organized violence from social practices”. Penulis bisa katakan  bahwa kalimat Klein tersebut mengandung implikasi bahwa studi strategi paska perkembangan teknologi, tidak melulu terkait dengan perang (violence) yang menjadi ranah operasi militer, tetapi studi strategi sudah menjalar ke aspek atau dimensi lain; ekonomi, politik, pengetahuan, dan sebagainya, di mana strategist-nya merupakan pihak-pihak non-militer, seperti akademisi, teknologist, arsitek, birokrat, dan pebisnis.
         Namun, kontribusi perkembangan teknologi yang paling nyata terhadap studi strategi adalah bahwasanya perkembangan teknologi menyebabkan adanya perubahan-tantangan-tantangan terhadap konsep nature of war yang diusung oleh strategi Clausewitz. Perkembangan teknologi yang paling nyata mempengaruhi studi strategi adalah kemunculan dan perkembangan dari teknologi nuklir pada masa Perang Dingin. Klein (1994) menyatakan bahwa “Clausewitz’s three modification of real war no longer upheld in the nuclear world.... Warfare in the nuclear age is claimed to be instantaneous, unlimited, and irreversible in its overwhelming consequences”. Adanya industrialisasi dan mekanisasi perang menyebabkan konsep “all war is limited” milik Clausewitz menjadi kurang relevant ketika industrialisasi dan mekanisasi perang itu memiliki kecenderungan mengarah pada perang total dengan adanya perkembangan teknologi; defense tersubordinasi terhadap offense, besi tergantikan dengan baja, pertempuran antar prajurit tergantikan oleh pertempuran antar mesin, keunggulan dari aerial power dari land warfare, kemunculan dari strategic bombing, dan pergeseran target strategi perang, dari politik, militer, dan penduduk (trinitas perang Clausewitz) menjadi ke arah sentimen dan moral penduduk sipil milik musuh (Klein, 1994: 57). Dari sini dapat terlihat bahwa dalam strategi modern, perubahan teknologi mempengaruhi studi strategi ketikanature of war itu juga berubah.
         Krisis misil Kuba oleh banyak penstudi dianggap sebagai turning point akan eksistensi dari strategi nuklir yang memang ada di masa kontemporer saat ini. Pada tahun 1962 ketika terjadi  krisis misil Kuba, pihak kapten kapal selam Uni Soviet membatalkan untuk memasang misil di Kuba karena mempertimbangan beberapa alasan yang sangat erat kaitannya dengan strategi nuklir. Dalam hal ini, pihak Uni Soviet telah dianggap menerapkan strategi nuklir karena  banyak mempertimbangkan efek yang terjadi bila pemasangan hulu ledak nuklir Kuba tetap dilaksanakan dan mereka memang bertindak secara rasional. Penggunaan nuklir sebagai instrumen militer dianggap merupakan hal yang irrasional dengan melihat efek yang diakibatkannya.
     Seperti yang diungkapkan di atas, terdapat dua perdebatan mengenai efektivitas penggunaan strategi nuklir dalam perang; perdebatan antara kaum minimalis dengan dasar liberal mereka, dan kaum maksimalis dengan dasar strategi Clausewit (Klein, 1994: 79). Menurut kaum minimalis, tidak dapat dipungkiri bahwasanya pengembangan nuklir tidak hanya menunjukkkan kemajuan teknologi namun juga bentuk bahaya yang baru ibarat pisau bermata dua. Dilihat dari segi instrumen militer, nuklir merupakan senjata yang tidak dapat diperangkan mengingat dampak yang ditimbulkannya. Selain itu, di bumi ini belum terdefinisikan medan perang seperti apa yang sesuai bagi penggunaan perang nuklir walaupun telah terdapat beberapa tempat yang sering digunakan untuk uji coba nuklir seprti beberapa pulau kecil di Samudra Pasifik. Aplikasi dari strategi nuklir ini sangat lah jelas keberadaannya terlebih bila dikaitkan dengansupreme excellence Sun Tzu win without war.
     Dari ungkapan tersebut dapat dilihat dengan jelas, dengan efek nuklir yang begitu membahayakan, perang nuklir dianggap mustahil terjadi. Sehingga keberadaan dan pengembangan senjata nuklir bagi negara-negara hanyalah sebagai senjata atau strategi untuk deterrence. Seperti yang diungkapkan Klein (1994), “... Political-military force... less to be used actively in ongoing battle... to assure no winner, no conflict. Strategic picture... deployment of nuclear force... to avoid their use as war-winning”. Jelas bahwa kaum minimalis menitikberatkan pada nuklir sebagai strategi untuk mencegah konflik dan perang total. Oleh sebab itu, kaum minimalis juga menekankan prinsip “no first use“; senjata nuklir digunakan sebagai alat retaliation (pembalasan dendam), bukan alat initiation (pemulaian perang). Sehingga, kaum minimalis menekankan pada konsep “senjata nuklir sebagai alat deterrence atau pencegah perang”, karena ada jika kita memulai perang dahulu (initiation), maka kita akan mendapatkan serangan balik (retaliation) dengan daya destruktif nuklir yang sama besarnya. Senjata nuklir, oleh karena konsekuensinya, mustahil diterapkan dan menjadi suatu bentuk kondisi perdamaian yang baru ketika negara-negara lebih memilih berdamai karena takut akan efek yang ditimbulkan oleh perang nuklir itu sendiri.
      Sedangkan kaum maksimalis lebih berorientasi kepada konvensionalisasi nuklir. Dalam artian, mereka menyatakan bahwa teknologi nuklir bisa menjadi instrumen dari perang, dan bisa saja digunakan sebagai tindakan inisiatif dari musuh. Seperti dalam tulisan Klein, “When adversary is so ideologically driven... or ideologically overdetermined... it is problematic to place faith in the hands of that foe that it will not attack”. Jadi jelas bahwa masih ada kemungkinan bahwa prinsip kaum minimalis tentang “no first use” tidak relevan. Kaum maksimalis juga mengkritik prinsip teknologi nuklir sebagai alat “retaliation”; apa tujuan pembalasan dendam jika misalnya kita sudah terkena serangan inisiatif musuh yang sangat berdaya destruktif dan masif hingga mampu melumpuhkan kita. Oleh sebab itu, kaum maksimalis menitikberatkan pada kemungkinan teknologi nuklir digunakan sebagai alat “war-winning” dan “war-fighting” daripada sebagai alat retaliasi atau balas dendam. Deterrence yang bertujuan untuk mempasifkan musuh, oleh sebab itu, justru akan mengarahkan strategi itu sendiri lebih dekat kepada dampak-dampak yang ditimbulkan oleh postur war-fighting (Klein, 1994: 66).
    Dalam kaitannya dengan Clausewitz, yang menekankan pada deployed the arms rightly menginstruksikan pentingnya penempatan senjata nuklir untuk digunkaan sebagai alat deterr terhadap negara lain sehingga mencapai bargaining positionyang kuat. Pengembangan nuklir sebagai alat deterrence, oleh Herman Kahn dibagi dalam tiga proporsi. Yakni nulir sebagai serangan secara langsung terhadap negara lawan, sebagai alat deterrence bagi aksi provokatif dan sebagai alat deterrence bagi aksi yang kurang provokatif. Sebagai deterr aksi yang provokatif, nuklir sangat lah berguna. Selain itu, penggunaan nuklir sebagai payung keamanan juga dapat digunakan ketika negara lain berlindung di bawah negara yang memiliki senjata nuklir atas ancaman yang didapat dari negara lain.
     Sehingga dapat dilihat memang pada kenyataannya strategi nuklir memang ada dan sering digunakan di masa kontemporer seperti saat ini. Strategi nuklir adalah pembentukan aturan dan rencana mengenai pembuatan dan penggunaan senjata nuklir. (Encyclopaedia Britannica Online, dalam www.britannica.com, diakses pada 30 April 2012). Karena itu, strategi nuklir dapat dikatakan masih ada. Bukti dari pernyataan ini:
Dalam lingkup negara, strategi nuklir masih ada di dunia, tepatnya di Amerika Serikat. Akhir dari Perang Dunia II dan Perang Dingin tidak mengakhiri penggunaan nuklir. Strategi nuklir Amerika Serikat ada 4, yaitu ikut serta dalam kebijakan non-proliferasi, mengembangkan teknologi non-militer, mengontrol militer, dan bertahan dalam menghadapi serangan terorisme (dalam www.america.gov, diakses pada 30 April 2012).
Dalam lingkup internasional, strategi nuklir juga ada, tapi sifatnya lebih kepada pembatasan. Kebijakan Non-Proliferation of  Nuclear Weapon Treaty (NPT) merupakan salah satu rezim internasional mengenai keberadaan nuklir.
      Walaupun demikian, pada saat ini jumlah senjata nuklir telah banyak berkurang jika dibandingkan dengan pada masa Perang Dunia II dan Perang Dingin, mengingat sifatnya yang destruktif dan tidak berkeprimanusiaan. Teknologi nuklir dicondongkan kepada penemuan alternatif bahan bakar alam lain yang sudah dirasa krisis dan manfaat yang lebih positif lainnya ketimbang sekadar senjata untuk perang. Nuklir merupakan tenaga yang sangat kuat dan efisien, hanya dibutuhkan sedikit nuklir untuk mengaktifkan berpuluh-puluh kali bubuk mesiu. Namun, sifatnya yang berbahaya membuat dunia cemas mengenai penggunaan nuklir dalam hal apapun. Contohnya teknologi nuklir Jepang yang pada gempa dahsyat yang lalu mengalami kebocoran. Hal inilah yang menyebabkan dunia masih dalam kontroversi mengenai pengembangan nuklir dan penggunaannya, sehingga terus ada tekanan terhadap eksistensi nuklir hingga pada titik lenyap.
         Nuklir memang sumber energi yang begitu besar manfaatnya jika itu dimnfaatkan untuk hal-hal yang positif karena dapat menjadi energi masa depan,namun jika nuklir dikembangkan hanya untuk kepentingan perang tentu itu kurang bijaksana.



No comments:

Post a Comment